HEALTHNEWS.ID – Indonesia AIDS Coalition (IAC), sebuah organisasi berbasis komunitas yang bekerja di bidang HIV, sedang berupaya mendorong akses yang lebih adil terhadap obat HIV, Lenacapavir.
Mereka telah mengajukan banding atas paten sekunder Lenacapavir di Komisi Banding Paten, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa Orang dengan HIV (ODHIV) di Indonesia bisa mendapatkan akses yang lebih terjangkau terhadap pengobatan ini.
Banding ini penting, karena monopoli paten dapat menyebabkan harga obat menjadi sangat mahal, sehingga sulit diakses oleh mereka yang membutuhkan.
Apa Itu Lenacapavir dan Mengapa Penting?
Lenacapavir adalah obat antiretroviral (ARV) generasi baru yang diproduksi oleh Gilead Sciences, perusahaan farmasi Amerika Serikat.
Obat ini memiliki keunggulan utama sebagai ARV “long-acting,” yang berarti tidak perlu dikonsumsi setiap hari.
Cukup diberikan dalam bentuk suntikan dua kali setahun, Lenacapavir menawarkan kenyamanan lebih bagi para ODHIV.
Selain itu, Lenacapavir juga memiliki potensi untuk digunakan sebagai pencegahan HIV atau PrEP (Pre-Exposure Prophylaxis), menjadikannya salah satu harapan baru dalam upaya mengakhiri epidemi AIDS.
UNAIDS, organisasi yang fokus pada penanggulangan AIDS, telah menyatakan bahwa Lenacapavir bisa menjadi kunci untuk mengakhiri AIDS, asalkan akses ke obat ini dibuka untuk semua orang.
Namun, hingga saat ini, akses terhadap Lenacapavir dihambat oleh paten yang diberikan kepada Gilead, yang membuat harga obat ini sangat mahal.
Di Indonesia, harga Lenacapavir mencapai sekitar Rp640 juta per tahun, yang jauh di luar jangkauan mayoritas penduduk.
Mengapa Akses yang Terjangkau Menjadi Tantangan?
Menurut data Kementerian Kesehatan Indonesia pada Agustus 2024, hanya 62% dari 503.261 ODHIV di Indonesia yang sudah mengakses pengobatan ARV.
Artinya, masih ada lebih dari sepertiga ODHIV yang belum mendapatkan pengobatan, yang dapat membahayakan kesehatan mereka dan memperburuk epidemi HIV di Indonesia.
Salah satu penyebab utama dari rendahnya akses ini adalah mahalnya harga obat, yang disebabkan oleh monopoli paten.
Monopoli paten memungkinkan perusahaan farmasi untuk menentukan harga obat tanpa adanya persaingan.
Harga Lenacapavir yang sangat mahal, sebesar $42.250 atau sekitar Rp640 juta per tahun, tidak terjangkau oleh banyak ODHIV, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Padahal, menurut riset dari Universitas Liverpool, versi generik dari Lenacapavir dapat diproduksi dengan harga yang jauh lebih murah, yaitu sekitar $26 hingga $40 per tahun, jika diproduksi dalam volume besar.
Selisih harga yang sangat besar ini menegaskan betapa pentingnya memproduksi obat generik untuk memastikan akses yang lebih luas.
Bagaimana Perjuangan IAC?
IAC telah mengajukan banding atas paten Lenacapavir di Indonesia dengan alasan bahwa paten tersebut tidak memenuhi syarat yang diatur dalam Undang-Undang Paten Indonesia.
UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten melarang praktik “patent evergreening,” yaitu tindakan memperpanjang masa monopoli paten dengan melakukan modifikasi kecil terhadap produk yang sudah ada.
Evergreening sering dilakukan oleh perusahaan farmasi untuk memperpanjang masa monopoli mereka, yang pada akhirnya membatasi akses ke obat generik yang lebih murah.
Aditya Wardhana, Direktur Eksekutif IAC, menegaskan bahwa monopoli yang tidak berdasar atas obat-obatan esensial tidak boleh dibiarkan.
Jika akses terhadap Lenacapavir tidak segera dibuka, maka akan semakin banyak ODHIV yang tidak bisa mendapatkan pengobatan yang mereka butuhkan, yang berpotensi meningkatkan angka kematian akibat AIDS.
Selain itu, langkah yang diambil oleh IAC ini merupakan bagian dari gerakan global yang didukung oleh Konsorsium Make Medicines Affordable, yang bertujuan untuk memastikan obat-obatan esensial bisa diakses oleh semua orang.
Organisasi-organisasi di India, Argentina, Vietnam, Thailand, dan Indonesia bekerja sama untuk mengajukan banding terhadap paten Lenacapavir milik Gilead, dengan harapan bahwa paten tersebut dapat dibatalkan atau direvisi.
Mengapa Akses ARV Penting untuk ODHIV?
Terapi ARV yang rutin sangat penting bagi ODHIV. Dengan mengonsumsi ARV secara teratur, ODHIV bisa hidup sehat seperti orang yang tidak terinfeksi HIV.
Pengobatan ARV dini dapat mencegah perkembangan kondisi menjadi AIDS dan mencegah munculnya infeksi oportunistik yang berbahaya.
Selain itu, ketika virus HIV ditekan hingga tidak terdeteksi, risiko penularan HIV kepada orang lain menjadi nol.
Oleh karena itu, ARV memiliki dua manfaat penting, yaitu menyelamatkan nyawa dan mencegah penularan HIV.
Ayu Oktariani, Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), yang juga hidup dengan HIV, menekankan pentingnya akses terhadap ARV yang lebih efisien dan terjangkau.
“Dengan terapi ARV, saya bisa kembali ke masyarakat dan menjalani hidup seperti orang lain.
Jika ada ARV yang lebih praktis dan terjangkau, hidup dengan HIV tidak akan lagi menjadi batasan,” ujar Ayu.
Apa Saja Langkah Advokasi yang Dilakukan?
Salah satu langkah utama yang diambil IAC adalah mengajukan banding paten terhadap Lenacapavir di Komisi Banding Paten.
IAC berpendapat bahwa paten yang diberikan kepada Gilead tidak memenuhi syarat pemberian paten di Indonesia, terutama karena paten tersebut tidak mencakup inovasi yang signifikan.
Jika banding ini diterima, paten Lenacapavir bisa dibatalkan atau setidaknya direvisi, yang membuka jalan bagi produksi versi generik.
Dalam proses ini, IAC bekerja sama dengan organisasi internasional seperti Konsorsium Make Medicines Affordable dan Third World Network.
Mereka memberikan dukungan teknis dalam menyusun argumen farmasi dan hukum untuk pengajuan banding.
Kerja sama ini juga membantu meningkatkan kapasitas lokal di bidang hak paten dan advokasi kesehatan.
Apa Tantangan Lain yang Menghadang?
Selain monopoli paten, salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah potensi perubahan dalam undang-undang paten di Indonesia.
Saat ini, RUU Paten sedang dibahas di DPR, dan ada kekhawatiran bahwa RUU tersebut akan menghilangkan “health safeguards” yang melindungi masyarakat dari praktik patent evergreening.
Jika perlindungan ini dihapus, perusahaan farmasi besar akan lebih mudah memperpanjang masa monopoli mereka, yang pada akhirnya akan memperlambat akses ke obat generik di Indonesia.
Untuk mengatasi tantangan ini, IAC bersama mitra-mitranya terus mengadvokasikan pentingnya menjaga ketentuan yang ada dalam UU Paten agar tidak ada celah bagi perusahaan farmasi untuk memonopoli obat esensial yang dibutuhkan banyak orang.
Bagaimana Akses Terhadap Obat Generik Bisa Membantu?
Produksi obat generik di Indonesia bukanlah hal yang baru.
Sebelumnya, IAC telah bermitra dengan PT Sampharindo Perdana untuk memproduksi ARV jenis TLD (Tenofovir, Lamivudine, dan Dolutegravir) versi generik.
Langkah ini memungkinkan ODHIV di Indonesia mendapatkan ARV dengan harga yang jauh lebih terjangkau, yang membantu meningkatkan angka pengobatan HIV di Indonesia.
Jika paten Lenacapavir dapat dibatalkan atau direvisi, hal yang sama dapat terjadi.
Versi generik Lenacapavir dapat diproduksi dengan biaya yang jauh lebih rendah, yang berarti lebih banyak ODHIV di Indonesia bisa mendapatkan pengobatan yang mereka butuhkan.
Ini juga akan membantu Indonesia dalam mencapai target global 95-95-95, yaitu 95% ODHIV mengetahui status mereka, 95% dari mereka yang mengetahui status mereka menjalani pengobatan, dan 95% dari mereka yang menjalani pengobatan berhasil mencapai supresi virus.
Perjuangan untuk akses yang adil terhadap obat-obatan esensial seperti Lenacapavir adalah langkah penting dalam mengakhiri epidemi AIDS.
Monopoli paten yang tidak berdasar hanya akan memperlambat akses ke pengobatan yang sangat dibutuhkan oleh ODHIV di Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya.
IAC, bersama mitra-mitranya, terus berjuang melalui jalur hukum dan advokasi untuk memastikan bahwa obat-obatan ini bisa diakses oleh semua orang tanpa terkecuali.
Dengan membuka akses ke Lenacapavir dan obat-obatan generasi baru lainnya, kita tidak hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga mencegah penyebaran lebih lanjut dari HIV.
Terapi ARV yang lebih praktis, efisien, dan terjangkau akan membawa dampak besar dalam upaya global untuk mengakhiri AIDS pada tahun 2030.