Post Views:
44
Perempuan dan Jantung Koroner Penulis : dr. Saskia Handari, SpJP
Kanal-Kesehatan-com Penyakit jantung coroner (PJK) adalah pembunuh utama di dunia yang dapat menyerang pria dan wanita. Di Indonesia penyakit ini adalah pembunuh nomor satu dan jumlah kejadiannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Data statistik nasional menunjukkan bahwa pada tahun 1992, persentase penderita PJK di Indonesia adalah 16,5%, dan melonjak menjadi 26,4% pada tahun 2000, dan angka ini tidak menurun pada Riskesdas terbaru tahun 2021. Meski menjadi pembunuh utama, tetapi masih belum banyak masyarakat yang menyadari tentang bahaya PJK.
Pada wanita, jumlah kematian karena PJK berkali lipat dibandingkan kematian karena berbagai jenis kanker. Tetapi sayangnya, sebagaimana dikemukakan oleh Robinson dalam penelitian yang dipublikasikan Circulation tahun 2001, 72% perempuan usia 25-40 tahun tetap menganggap kanker adalah isu utama bagi kesehatan wanita. Selain itu dikemukakan dalam penelitian tersebut 65% perempuan mengetahui bahwa pada wanita gejalanya seringkali tidak khas, tapi tidak tahu bagaimana gejala yang khas untuk PJK.
Seorang guru besar dari universitas Emory, Atlanta, USA, Professor Wenger, mensinyalir adanya bias gender dalam pendekatan pemahaman kesehatan wanita, yang lebih mengutamakan sistem reproduksi termasuk payudara sehingga mengabaikan organ tubuh yang lain. Angka kematian akibat penyakit jantung pada wanita 4–6 kali lebih tinggi dibanding kanker payudara. Diduga hal ini berkaitan dengan kampanye bahaya kanker payudara yang lebih sering sehingga wanita lebih takut dan waspada terhadap kanker payudara dibanding penyakit jantung.
Pengenalan dini terhadap gejala dan penegakan diagnosis yang akurat sangat penting terhadap penatalaksanaan PJK khususnya pada wanita, karena 63% perempuan meninggal mendadak karena PJK tanpa gejala yang bermakna sebelumnya, juga lebih banyak perempuan yang meninggal dibandingkan laki-laki 42% vs 24% dalam satu tahun setelah serangan jantung akut atau dikenal dengan acute myocardial infarction. Dalam enam tahun penderita yang selamat dari kondisi tersebut, akan mengalami gagal jantung yang mana terjadi lebih banyak pada wanita yaitu 46% dibandingkan laki-laki 22%.
Gejala klasik dari PJK adalah nyeri dada sebelah kiri seperti ditindih benda berat yang sulit dilokalisir, dan menjalar ke leher, bahu, punggung dan lengan kiri, seringkali disertai dada berdebar, keringat dingin, pusing, sesak, mual, dan nyeri perut. Pada wanita keluhan ini umumnya lebih ringan, bahkan tanpa nyeri dada, hanya merasa dada tidak enak atau keletihan umum yang mendadak.
Computerized Tomography Scan Jantung
Berbagai modalitas dapat digunakan untuk penapisan PJK ini, yang umum dikenal adalah stress ECG atau Treadmill, tetapi pada wanita alat ini memiliki sensitivitas dan spesifitas yang lebih rendah (61% dan 70%) dibandingkan bila digunakan pada laki-laki (68% dan 77%). Modalitas lain yang dipergunakan adalah tes fungsi seperti stress echo, stress nuclear, stress cardiac MRI, juga test anatomi melalui CT (computerized tomography) scan jantung yang memberikan sensitivitas dan spesifitas yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Plak keras pada pembuluh darah koroner akan terdeteksi pada CT scan jantung sehingga merupakan alat skrining yang bermanfaat. Penemuan jumlah plak ini dinyatakan sebagai skor kalsium arteri koroner jantung. CT scan jantung angiografi dengan kontras sebagai lanjutan dari calcium score memberikan nilai diagnostic yang sangat tinggi yaitu negative predictive value (NPV) diatas 99%, hal ini bermakna untuk penapisan yang akurat.
Perlulah disadari bahwa PJK sudah dimulai sejak masa muda sehingga diperlukan kendali dari berbagai faktor resiko secara agresif yang seringkali membutuhkan kombinasi dari beberapa cara pengobatan farmakologis dan non farmakologis, diyakini merupakan strategi yang efektif untuk mengurangi dampak lebih lanjut dari PJK ini.
Faktor risiko PJK dapat dikatagorikan menjadi 3 bagian yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain: tekanan darah tinggi, abnormal kadar lemak darah, diabetes, merokok, obesitas, dan kurang aktifitas. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain adanya riwayat PJK dalam keluarga, usia, dan jenis kelamin. Sedangkan faktor risiko baru seperti homosistein, peningkatan Lp (a), faktor darah yang mudah membeku, dan pertanda inflamasi hs-CRP.
Saat ini juga mulai dikenal adanya keadaan aterosklerosis sub klinis seperti penyakit arteri perifer, aneurisma aorta abdominalis, dan penyakit arteri karotis yang menimbulkan gejala, serta beberapa penapisan yang juga berkorelasi dengan PJK seperti ketebalan arteri karotis intima dan perbandingan pengukuran tekanan lengan dan kaki atau dikenal dengan ankle-brachial index (ABI).
Pada usia muda, estrogen melindungi perempuan dari PJK, kecuali bila memiliki faktor-faktor risiko yang dapat mengalahkan efek protektif ini. Keterkaitan yang sering terjadi antara perempuan usia muda yang mengalami PJK adalah memiliki faktor risiko merokok yang disertai penggunaan kontrasepsi oral, karena disinyalir akan meningkatkan kadar kekentalan darah. Setelah menopause resiko perempuan mengalami PJK akan meningkat karena penurunan kadar estrogen, sehingga pada usia 50 tahun perempuan akan menghadapi resiko sekitar 46% untuk mengalami PJK dan 31% meninggal karenanya. Tetapi penggunaan terapi sulih hormon tidak terbukti bermanfaat untuk pencegahan PJK.
Beberapa studi pengamatan menunjukkan bahwa penanganan PJK memberikan fakta bahwa wanita kurang mendapatkan terapi yang optimal bila mengalami serangan jantung akut, lebih sedikit yang diberi terapi revaskularisasi serta jumlah yang dikirim untuk angiografi lewat kateterisasi juga lebih rendah.
Sebagai kesimpulan, mengingat tingginya angka kematian dan angka kesakitan pada perempuan bila mengalami PJK, diperlukan kesadaran akan bahaya PJK pada wanita serta langkah-langkah pengenalan dan penatalaksanaan yang terpadu mulai dari mengatasi berbagai faktor resiko sebagai upaya prevensi, mengintegrasikan berbagai modalitas untuk penapisan dan prosedur diagnosis, dan penanganan yang cepat dan tepat.
dr. Saskia Handari, SpJP
Universitas Ciputra Surabaya